Wednesday, January 8, 2014

Based on true story (edit banyak)

Berawal di Akasia, Berakhir di Kamboja
Oleh : Anggi Pusvita Rini

Juli 2006, libur musim panas yang cukup panjang akan ku habiskan mengunjungi kota yang sempat menjadi tempat tinggal ku. Agak pelosok memang. Tapi kota ini mampu membuat ku tumbuh berkepribadian seperti sekarang.
Banyak sekali to-do-list  yang sudah tercatat rapi di buku kecil ku. Buku ini selalu ku bawa kemanapun aku pergi keluar rumah. Sejak kecil aku terbiasa untuk mencatat apa yang akan ku lakukan.
Di urutan nomor satu dalam catatan ku adalah mengunjungi makam, ya, makam. Sudah hampir tujuh tahun sejak kematiannya aku tidak pernah nyekar ke puasaranya. Pusara sahabat kecil ku.

***

Tujuh tahun yang lalu
PRANGGGG!!!!  Suara piring jatuh dari tangan Ibu ku yang hendak menyiapkan makan malam. Lewat telepon, seseorang memberi tahu kalau Kemas sahabatku meninggal di rumah sakit akibat kecelakaan. Ibu kaget bukan kepalang.
Keluarga ku cukup dekat dengan keluarga Kemas. Dulu Ibuku sempat bekerja satu kantor dengan Ibunya Kemas, itulah yang membuatku dekat dengan Kemas. Aku dan Kemas masih punya dua sahabat lainnya, Fira dan Radit.

***

November 1998.
“Nanti kalau kita udah lulus SMA kita ketemu di bawah pohon ini ya” kata-kata yang keluar dari mulut Fira yang masih ku ingat betul. Pohon akasia di depan SD  ku dulu memang menjadi tempat favorit kami. Pohon akasia yang satu ini berbeda dengan pohon akasia yang lainnya. Selain pohonnya yang tidak terlalu tinggi, pohon ini juga tempat kami menggantungkan kertas yang berisi harapan-harapan kami.
Orang-orang yang tinggal di sekitar sekolah ku sudah tidak heran lagi jika melihat banyak kertas yang bergantung indah ditiup angin di dahan pohon. Tak heran, hampir setiap hari setelah pulang sekolah kami menuliskan harapan-harapan kami di secarik kertas. Kebiasaan ini kami lakukan mulai dari kepindahan Radit ke SD kami, kira-kira ketika kami kelas 4 SD dan masih berlanjut sampai kami SMP sekarang.
Tak hanya harapan yang kami bagi ketika kami berada di bawah pohon itu, kami berceloteh hingga tawa mampu meramaikan suasana. Banyolan khas dari Radit mampu mengocok perut kami semua.
Kemas anak yang periang. Suka berbagi. Selalu juara kelas, tak heran kalau dia jadi murid teladan di sekolah.
Suatu hari Kemas tak seperti biasanya. Diam, sangat diam. Hampir tidak pernah lagi dia terlihat menggantungkan harapannya di pohon akasia. Penasaran dan rasa kesal bercampur menjadi satu, akhirnya aku, Fira dan Radit mengerjainya dengan membawakannya kodok sawah agar dia kaget dan ketakutan. Tapi Kemas tetep saja datar tanpa ekspresi. Pertanyaan mengapa, apa, kenapa memenuhi pikiran kami. Kenapa Kemas berubah drastis dari awalnya periang menjadi diam membatu seperti ini. Pasti ada yang janggal.
Hampir dua bulan lebih Kemas berkelakuan beda dari biasanya. Jarang sekali bicara dengan kami dan lebih suka menyendiri di belakang sekolah. Awalnya kami pasrah. Tapi Radit berinisiatif untuk mencari tahu apa yang terjadi dengan Kemas. Kami membuntutinya setiap pulang sekolah. Minggu pertama penyelidikan tidak menghasilkan apa-apa.
Pada minggu kedua, penyelidikan kami mulai mebuahkan hasil. Seperti biasa kami membuntuti Kemas pulang ke rumah. Di depan rumahnya terlihat jelas orang tuanya sedang berkelahi. Kemas yang tadinya mau masuk ke rumah pun membelokkan sepedanya tidak jadi masuk ke rumah. Mungkin ini penyebab Kemas menjadi berkelakuan aneh akhir-akhir ini.
 “Kasian ya si Kemas.” Ucap Fira polos.
“Iya, pantesan dia jadi pendiam gitu. Ternyata keluarganya lagi bermasalah.” Sambung Radit.
“Kita harus bantu Kemas. Dia nggak boleh terpuruk kaya gini. Kita harus bikin dia balik lagi kaya dulu.” Kata ku.
“Iya! Kita nggak boleh biarin Kemas kaya gini.” Jawab Fira.
Sebagai sahabat kami mengerti keadaan Kemas sekarang. Kami pun memutuskan untuk menolong Kemas. Ini tahun terakhir kami di SMP. Kami tidak mungkin membiarkan dia tetap seperti ini sampai dia masuk SMA nanti.
“Kemas!!!!!.” Teriak ku memanggil Kemas saat melihatnya keluar dari parkiran sepeda dan hendak menuju kelas.
Kemas menoleh sebentar dan mengabaikan panggilan ku. Berjalan lunglai menuju kelas.
“KEMAS!!!!!!!!!!!!!!! KEMAS!!!!!!!!!!!!!!!” Teriak ku lebih keras lagi.
“Apasih? Nggak usah teriak-teriak bisa kali. Aku juga denger kok.” Jawabnya datar.
“Aku nggak mungkin teriak kalau kamu dengar aku panggil pertama kali.” Jawab ku kesal.
“Iya sekarang aku dengar dan udah ku jawabkan? Ada perlu apa? Penting banget ya?.” Balas Kemas. Ketus.
“Iya ini penting! Sebenernya aku nggak mau ikut campur urusan keluarga mu. Tapi aku sebagai sahabatmu harus tau kenapa kamu berubah kaya gini. Oke kalo kamu mau Fira dan Radit ngga tau masalah ini. Tapi biarin aku yang tau. Aku sedih liat kamu kaya gini. Kita udah jarang banget main bareng. Jarang banget duduk di bawah pohon akasia sana. Kamu udah beda banget” Jelas ku sambil menunjuk pohon akasia itu.
          Kemas diam. Dia menghela nafas panjang. Dan berlalu begitu saja tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.
          “Kemas!!!!! Kemas!!!!!.” Teriak ku.
          Lagi-lagi teriakan ku diabaikan.
          Sejak kejadian pagi itu. Persahabatan ku dengan Kemas makin renggang. Bahkan Radit dan Fira pun jarang sekali mengobrol dengannya.
                                               
***
         
“NAYYYY!!!!!! NAYLAAA!!!!.” Teriak Ibu ku.
          Aku yang sedang di kamar dengan headphone  menggantung di telinga ku samar mendengar suara Ibu memanggilku.
          “Iya Bu. Ibu manggil Nay? Nay lagi asik dengerin lagu juga. Loh kok Ibu nangis? Kenapa? tangan Ibu kena beling? Nay ambilin perban ya bu.” Jawab ku sambil berpaling hendak mengambilkan perban.
          “Tunggu Nay! Ibu ngga kenapa-kenapa. Ini tentang Kemas. Kemas kecelakaan tertabrak mobil dan meninggal, jasadnya sekarang ada di rumah sakit.” Jawab Ibu menangis.
          Sejenak aku jatuh. Meringkuk di lantai. Tak berdaya.
          “Bangun nak, berdiri. Ayo cepat kita pergi ke rumah sakit.” Ajak Ibu.
Ibu megajak ku pergi, namun aku masih terpaku dengan berita yang baru saja ku dengar. Tak sanggup rasanya aku berdiri. Tak sanggup rasanya aku menemui Kemas yang berlumuran darah. Tak sanggup rasanya aku melihat raganya yang kaku. Aku tak sanggup.
Perjalanan menuju rumah sakit kami tempuh selama 2 jam. Sesampainya di rumah sakit, aku dan Ibu langsung menuju ruang jenazah. Di sana ramai orang berkumpul. Ku lihat dari kejauhan Ibunya Kemas, tante Ina duduk menangis.
Ibu berusaha menenangkan tante Ina. Aku masih terdiam. Tak percaya sepenuhnya dengan yang tarjadi. Hampir dua tahun aku tidak pernah melihat Kemas, dan kami dipertemukan di sini. Di tempat yang seharusnya kami tidak bertemu.
Keesokan harinya Kemas dimakamkan di pemakaman terdekat. Air mata seluruh keluarga dan kerabat mengantar kepulangannya ke tempat yang paling indah di mata semua manusia. Kembali ke pangkuan Sang Pencipta.
          Sedih ku lihat Daniel, adik Kemas yang masih berusia empat tahun. Dia tidak mengerti apa-apa. Dia hanya tahu kakaknya tertidur. Namun dia tidak tahu kalau kakaknya tidak akan kembali lagi ke rumah bermain dengannya.
          “Kak Nay, Kak Kemas kok nggak bangun-bangun sih? Lama banget sih tidurnya. Aku kan nggak ada temen main bola.” Tanya Daniel polos sekali.
          “Kak Kemas emang lagi tidur. Tidur untuk selamanya. Daniel kalo mau main bola main aja yah sama teman-teman Daniel, jangan tunggu kak Kemas, dia nggak bakal balik lagi.” Rasanya lidah ku kelu untuk menjawab pertanyaan yang keluar dari mulut polos Daniel.
          “Kok gitu? Itu ya yang namanya meniggal? Tidur terus nggak  bangun-bangun lagi? Jadi kak Kemas meninggal?.”
          “Iya Daniel.”
          Ya Tuhan, Daniel masih terlalu polos untuk tahu arti meninggal. Kakak yang dicintainya, kakak yang menjadi teman bermainnya kini kembali ke pangkuan Mu. Ku mohon jagalah dia, berikanlah tempat yang layak untuknya.

***
         
Mei 1999.
Tiba saatnya dimana seluruh siswa sibuk menyipakan diri mengahadapi Ujian Nasional yang sudah di depan mata. Tak terkecuali aku. Sibuk bimbingan belajar sepulang sekolah membuat ku jarang berkumpul dengan Fira dan Radit, apalagi Kemas.
          Selang sebulan setelah Ujian Naional, tibalah saatnya pengumuman. Alhamdulillah, aku dan teman-teman semua lulus. Sorak sorai kebahagaian rami terdengar di aula saat pengumuman. Tapi tak ku lihat Kemas di sini.
Orang tua ku memutuskan pindah ke luar kota setelah aku lulus SMP dan melanjutkan SMA di sana. Aku sebagai anak terima-terima saja. Dihari terakhir ku di rumah, aku tak sempat mengucap kata selamat tinggal dan selamat berjumpa lagi dengan Kemas.

***

Aku menumpangi bus antar kota yang akan mengantarkan ku ke kota yang penuh kenangan masa kecil ku. Perlahan ku sandarkan punggung di kursi penumpang, ku miringkan kepala ku hingga menempel di kaca jendela bus. Selama perjalan aku melamun, membayangkan hal lucu yang dulu pernah ada selama Kemas masih hidup, bersama kedua sahabat ku yang lain tentunya. Di ingatan ku masih terlihat jelas. Terekam tak akan pernah mati. Sosok sahabat seperti Kemas.
Kondektur bus membangunkan ku dan memberi tahu kalau aku sudah sampai. Bergegas aku cari angkutan kota. Pertama aku mengunjungi pohon akasia di depan sekolah ku dulu sebelum ke makam Kemas. Pohonnya sama seperti dulu, hanya dahannya sudah banyak dipotong warga untuk kebersihan dan menghindari jika sewaktu waktu ada angin kencang dan pohon roboh ke jalan. Tak ada lagi terlihat gantungan-gantungan harapan kami. Jelas saja, kebiasaan menggantungkan harapan di pohon sudah berhenti ketika kami lulus SMP.
Ibu menyuruhku agar mampir dulu ke rumah Kemas untuk memberikan titipan kepada Ibunya Kemas. Sambutan hangat ku terima ketika menginjakkan kaki di rumah Kemas. Obrolan manis tersaji di hadapan ku dan Tante Ina. Daniel tumbuh besar, entah kenapa menurutku daniel merupakan ‘‘duplikat” dari Kemas. Ibunya Kemas menawarkan untuk mengantar ke makam Kemas. Namun aku menolak. Aku ingin menghabiskan waktu ku hari ini dengan mengobrol bersama Kemas. Akhirnya Tante Ina pun mengerti, beliau membiarkan aku pergi sendirian.
Ku lihat makam usang dengan pohon bunga kamboja di sampingnya bertuliskan “Kemas Pratama”. Itu makam Kemas.
“Hai Kemas, masih ingat aku kan? Sahabat kecil mu. Udah lama banget ya nggak  liat kamu. Oh iya, kita kan udah buat janji kalau kita udah lulus SMA kita bakal ketemu di bawah pohon akasia. Aku minta maaf sebelumnya aku nggak bisa dateng tepat waktu, aku baru bisa dateng sekarang. Mungkin Fira dan Radit udah dateng ketemu kamu empat tahun yang lalu di sini.”
“Mas Mas, liat deh Ini foto kita pas masih SD, lugu banget ya, masih pake seragam merah putih, liat deh kebiasaan Radit kalo foto bareng jarang banget liat ke kamera, ckckckck lucu ya Mas”.
“Kamu kesepian nggak di sini? Dingin nggak sih di sini? Tapi pohon kamboja itu bikin bagus tempat kamu Mas, liat deh bunganya cantik banget. Oh iya aku belum cerita ya, aku dapet beasiswa kuliah ke luar negeri, dan sekarang aku lagi liburan musim panas, makanya aku pulang.”
Aku sadar selama aku mengobrol dengan Kemas, aku hanya mengobrol dengan makamnya, namun hati ku berkata kalau Kemas benar-benar hadir di hadapan ku. Benar-benar mendengarkan semua ceritaku. Dan tetesan air mata mengalir membasahi pipi ku.
Tak terasa matahari mulai menuju ke peraduannya. Semilir angin mulai menusuk-nusuk pori-pori jaket ku. Ponsel ku berdering, tanda pesan singkat masuk.
“Pulang nak, udah sore, nati kehabisan bus loh”.
“Iya Bu”.
Sebelum aku pulang, aku meninggalkan secarik kertas berisi puisi tanda perpisahan dengan Kemas. Sekarang janji ku dengan sahabat ku sudah terpenuhi. Bertemu setelah kami lulus SMA. Namun bukan di tempat yang seharusnya.
Ranting pohon pasti akan menyusul daunnya yang jatuh terlebih dahulu ke tanah. Selamat tinggal Kemas....


Akasia
Berdiri kokoh
Akarnya menerkam tanah dengan kuatnya
Daunnya bagai bulan sabit yang malu-malu jika tersipu angin
Kamboja
Menemani dikala sepi
Batangnya berliuk-liuk
Bunganya yang berjatuhan menghiasi singgasana
Akasia dan kamboja
Dua pohon yang berbeda namun punya peran yang sama
Peran yang memersatukan kita


0 comments:

Post a Comment