Berawal
di Akasia, Berakhir di Kamboja
Oleh
: Anggi Pusvita Rini
Juli 2006, libur
musim panas yang cukup panjang akan ku habiskan mengunjungi kota yang sempat
menjadi tempat tinggal ku. Agak pelosok memang. Tapi kota ini mampu membuat ku
tumbuh berkepribadian seperti sekarang.
Banyak sekali to-do-list yang sudah tercatat rapi di buku kecil ku.
Buku ini selalu ku bawa kemanapun aku pergi keluar rumah. Sejak kecil aku
terbiasa untuk mencatat apa yang akan ku lakukan.
Di urutan nomor satu
dalam catatan ku adalah mengunjungi makam, ya, makam. Sudah hampir tujuh tahun
sejak kematiannya aku tidak pernah nyekar
ke puasaranya. Pusara sahabat kecil ku.
***
Tujuh tahun yang lalu
PRANGGGG!!!!
Suara
piring jatuh dari tangan Ibu ku yang hendak menyiapkan makan malam. Lewat
telepon, seseorang memberi tahu kalau Kemas sahabatku meninggal di rumah sakit
akibat kecelakaan. Ibu kaget bukan kepalang.
Keluarga ku cukup
dekat dengan keluarga Kemas. Dulu Ibuku sempat bekerja satu kantor dengan
Ibunya Kemas, itulah yang membuatku dekat dengan Kemas. Aku dan Kemas masih
punya dua sahabat lainnya, Fira dan Radit.
***
November 1998.
“Nanti kalau kita
udah lulus SMA kita ketemu di bawah pohon ini ya” kata-kata yang keluar dari
mulut Fira yang masih ku ingat betul. Pohon akasia di depan SD ku dulu memang menjadi tempat favorit kami.
Pohon akasia yang satu ini berbeda dengan pohon akasia yang lainnya. Selain
pohonnya yang tidak terlalu tinggi, pohon ini juga tempat kami menggantungkan kertas
yang berisi harapan-harapan kami.
Orang-orang yang
tinggal di sekitar sekolah ku sudah tidak heran lagi jika melihat banyak kertas
yang bergantung indah ditiup angin di dahan pohon. Tak heran, hampir setiap
hari setelah pulang sekolah kami menuliskan harapan-harapan kami di secarik
kertas. Kebiasaan ini kami lakukan mulai dari kepindahan Radit ke SD kami,
kira-kira ketika kami kelas 4 SD dan masih berlanjut sampai kami SMP sekarang.
Tak hanya harapan
yang kami bagi ketika kami berada di bawah pohon itu, kami berceloteh hingga
tawa mampu meramaikan suasana. Banyolan khas dari Radit mampu mengocok perut
kami semua.
Kemas anak yang
periang. Suka berbagi. Selalu juara kelas, tak heran kalau dia jadi murid
teladan di sekolah.
Suatu hari Kemas tak
seperti biasanya. Diam, sangat diam. Hampir tidak pernah lagi dia terlihat
menggantungkan harapannya di pohon akasia. Penasaran dan rasa kesal bercampur
menjadi satu, akhirnya aku, Fira dan Radit mengerjainya dengan membawakannya
kodok sawah agar dia kaget dan ketakutan. Tapi Kemas tetep saja datar tanpa
ekspresi. Pertanyaan mengapa, apa, kenapa memenuhi pikiran kami. Kenapa Kemas berubah
drastis dari awalnya periang menjadi diam membatu seperti ini. Pasti ada yang
janggal.
Hampir dua bulan
lebih Kemas berkelakuan beda dari biasanya. Jarang sekali bicara dengan kami
dan lebih suka menyendiri di belakang sekolah. Awalnya kami pasrah. Tapi Radit
berinisiatif untuk mencari tahu apa yang terjadi dengan Kemas. Kami
membuntutinya setiap pulang sekolah. Minggu pertama penyelidikan tidak menghasilkan
apa-apa.
Pada minggu kedua,
penyelidikan kami mulai mebuahkan hasil. Seperti biasa kami membuntuti Kemas
pulang ke rumah. Di depan rumahnya terlihat jelas orang tuanya sedang
berkelahi. Kemas yang tadinya mau masuk ke rumah pun membelokkan sepedanya
tidak jadi masuk ke rumah. Mungkin ini penyebab Kemas menjadi berkelakuan aneh
akhir-akhir ini.
“Kasian ya si Kemas.” Ucap Fira polos.
“Iya, pantesan dia
jadi pendiam gitu. Ternyata keluarganya lagi bermasalah.” Sambung Radit.
“Kita harus bantu Kemas.
Dia nggak boleh terpuruk kaya gini. Kita harus bikin dia balik lagi kaya dulu.”
Kata ku.
“Iya! Kita nggak
boleh biarin Kemas kaya gini.” Jawab Fira.
Sebagai sahabat kami
mengerti keadaan Kemas sekarang. Kami pun memutuskan untuk menolong Kemas. Ini tahun
terakhir kami di SMP. Kami tidak mungkin membiarkan dia tetap seperti ini
sampai dia masuk SMA nanti.
“Kemas!!!!!.” Teriak
ku memanggil Kemas saat melihatnya keluar dari parkiran sepeda dan hendak
menuju kelas.
Kemas menoleh
sebentar dan mengabaikan panggilan ku. Berjalan lunglai menuju kelas.
“KEMAS!!!!!!!!!!!!!!!
KEMAS!!!!!!!!!!!!!!!” Teriak ku lebih keras lagi.
“Apasih? Nggak usah teriak-teriak bisa kali. Aku
juga denger kok.” Jawabnya datar.
“Aku nggak mungkin teriak kalau kamu dengar aku panggil pertama
kali.” Jawab ku kesal.
“Iya sekarang aku
dengar dan udah ku jawabkan? Ada perlu apa? Penting banget ya?.” Balas Kemas. Ketus.
“Iya ini penting!
Sebenernya aku nggak mau ikut campur urusan keluarga mu. Tapi aku sebagai
sahabatmu harus tau kenapa kamu berubah kaya gini. Oke kalo kamu mau Fira dan
Radit ngga tau masalah ini. Tapi biarin aku yang tau. Aku sedih liat kamu kaya
gini. Kita udah jarang banget main bareng. Jarang banget duduk di bawah pohon
akasia sana. Kamu udah beda banget” Jelas ku sambil menunjuk pohon akasia itu.
Kemas
diam. Dia menghela nafas panjang. Dan berlalu begitu saja tanpa mengeluarkan
sepatah kata pun.
“Kemas!!!!! Kemas!!!!!.” Teriak ku.
Lagi-lagi
teriakan ku diabaikan.
Sejak
kejadian pagi itu. Persahabatan ku dengan Kemas makin renggang. Bahkan Radit
dan Fira pun jarang sekali mengobrol dengannya.
***
“NAYYYY!!!!!! NAYLAAA!!!!.” Teriak Ibu ku.
Aku
yang sedang di kamar dengan headphone menggantung di telinga ku samar mendengar
suara Ibu memanggilku.
“Iya Bu. Ibu manggil Nay? Nay lagi asik
dengerin lagu juga. Loh kok Ibu nangis? Kenapa? tangan Ibu kena beling? Nay ambilin perban ya bu.” Jawab ku sambil berpaling hendak mengambilkan perban.
“Tunggu Nay! Ibu ngga kenapa-kenapa. Ini tentang Kemas. Kemas kecelakaan tertabrak mobil
dan meninggal, jasadnya sekarang ada di rumah sakit.” Jawab Ibu menangis.
Sejenak
aku jatuh. Meringkuk di lantai. Tak berdaya.
“Bangun
nak, berdiri. Ayo cepat kita pergi ke rumah sakit.” Ajak Ibu.
Ibu megajak ku
pergi, namun aku masih terpaku dengan berita yang baru saja ku dengar. Tak
sanggup rasanya aku berdiri. Tak sanggup rasanya aku menemui Kemas yang
berlumuran darah. Tak sanggup rasanya aku melihat raganya yang kaku. Aku tak
sanggup.
Perjalanan menuju
rumah sakit kami tempuh selama 2 jam. Sesampainya di rumah sakit, aku dan Ibu
langsung menuju ruang jenazah. Di sana ramai orang berkumpul. Ku lihat dari
kejauhan Ibunya Kemas, tante Ina duduk menangis.
Ibu berusaha menenangkan
tante Ina. Aku masih terdiam. Tak percaya sepenuhnya dengan yang tarjadi.
Hampir dua tahun aku tidak pernah melihat Kemas, dan kami dipertemukan di sini.
Di tempat yang seharusnya kami tidak bertemu.
Keesokan harinya Kemas
dimakamkan di pemakaman terdekat. Air mata seluruh keluarga dan kerabat
mengantar kepulangannya ke tempat yang paling indah di mata semua manusia.
Kembali ke pangkuan Sang Pencipta.
Sedih
ku lihat Daniel, adik Kemas yang masih berusia empat tahun. Dia tidak mengerti
apa-apa. Dia hanya tahu kakaknya tertidur. Namun dia tidak tahu kalau kakaknya
tidak akan kembali lagi ke rumah bermain dengannya.
“Kak Nay, Kak Kemas kok nggak
bangun-bangun sih? Lama banget sih tidurnya. Aku kan nggak ada temen main bola.” Tanya Daniel polos sekali.
“Kak
Kemas emang lagi tidur. Tidur untuk selamanya. Daniel kalo mau main bola main
aja yah sama teman-teman Daniel, jangan tunggu kak Kemas, dia nggak bakal balik lagi.” Rasanya
lidah ku kelu untuk menjawab pertanyaan yang keluar dari mulut polos Daniel.
“Kok
gitu? Itu ya yang namanya meniggal? Tidur terus nggak bangun-bangun lagi? Jadi
kak Kemas meninggal?.”
“Iya
Daniel.”
Ya
Tuhan, Daniel masih terlalu polos untuk tahu arti meninggal. Kakak yang
dicintainya, kakak yang menjadi teman bermainnya kini kembali ke pangkuan Mu. Ku mohon jagalah dia,
berikanlah tempat yang layak untuknya.
***
Mei 1999.
Tiba saatnya dimana
seluruh siswa sibuk menyipakan diri mengahadapi Ujian Nasional yang sudah di
depan mata. Tak terkecuali aku. Sibuk bimbingan belajar sepulang sekolah
membuat ku jarang berkumpul dengan Fira dan Radit, apalagi Kemas.
Selang
sebulan setelah Ujian Naional, tibalah saatnya pengumuman. Alhamdulillah, aku
dan teman-teman semua lulus. Sorak sorai kebahagaian rami terdengar di aula
saat pengumuman. Tapi tak ku lihat Kemas di sini.
Orang tua ku
memutuskan pindah ke luar kota setelah aku lulus SMP dan melanjutkan SMA di
sana. Aku sebagai anak terima-terima saja. Dihari terakhir ku di rumah, aku tak
sempat mengucap kata selamat tinggal dan selamat berjumpa lagi dengan Kemas.
***
Aku menumpangi bus
antar kota yang akan mengantarkan ku ke kota yang penuh kenangan masa kecil ku.
Perlahan ku sandarkan punggung di kursi penumpang, ku miringkan kepala ku hingga
menempel di kaca jendela bus. Selama perjalan aku melamun, membayangkan hal
lucu yang dulu pernah ada selama Kemas masih hidup, bersama kedua sahabat ku
yang lain tentunya. Di ingatan ku masih terlihat jelas. Terekam tak akan pernah
mati. Sosok sahabat seperti Kemas.
Kondektur bus
membangunkan ku dan memberi tahu kalau aku sudah sampai. Bergegas aku cari
angkutan kota. Pertama aku mengunjungi pohon akasia di depan sekolah ku dulu
sebelum ke makam Kemas. Pohonnya sama seperti dulu, hanya dahannya sudah banyak
dipotong warga untuk kebersihan dan menghindari jika sewaktu waktu ada angin
kencang dan pohon roboh ke jalan. Tak ada lagi terlihat gantungan-gantungan
harapan kami. Jelas saja, kebiasaan menggantungkan harapan di pohon sudah
berhenti ketika kami lulus SMP.
Ibu menyuruhku agar
mampir dulu ke rumah Kemas untuk memberikan titipan kepada Ibunya Kemas.
Sambutan hangat ku terima ketika menginjakkan kaki di rumah Kemas. Obrolan manis
tersaji di hadapan ku dan Tante Ina. Daniel tumbuh besar, entah kenapa menurutku
daniel merupakan ‘‘duplikat” dari Kemas. Ibunya Kemas menawarkan untuk
mengantar ke makam Kemas. Namun aku menolak. Aku ingin menghabiskan waktu ku
hari ini dengan mengobrol bersama Kemas. Akhirnya Tante Ina pun mengerti,
beliau membiarkan aku pergi sendirian.
Ku lihat makam usang
dengan pohon bunga kamboja di sampingnya bertuliskan “Kemas Pratama”. Itu makam
Kemas.
“Hai Kemas, masih
ingat aku kan? Sahabat kecil mu. Udah lama banget ya nggak liat kamu. Oh iya, kita
kan udah buat janji kalau kita udah lulus SMA kita bakal ketemu di bawah pohon
akasia. Aku minta maaf sebelumnya aku nggak
bisa dateng tepat waktu, aku baru bisa dateng sekarang. Mungkin Fira dan Radit
udah dateng ketemu kamu empat tahun yang lalu di sini.”
“Mas Mas, liat deh Ini
foto kita pas masih SD, lugu banget ya, masih pake seragam merah putih, liat
deh kebiasaan Radit kalo foto bareng jarang banget liat ke kamera, ckckckck
lucu ya Mas”.
“Kamu kesepian nggak
di sini? Dingin nggak sih di sini? Tapi pohon kamboja itu bikin bagus tempat
kamu Mas, liat deh bunganya cantik banget. Oh iya aku belum cerita ya, aku
dapet beasiswa kuliah ke luar negeri, dan sekarang aku lagi liburan musim
panas, makanya aku pulang.”
Aku sadar selama aku
mengobrol dengan Kemas, aku hanya mengobrol dengan makamnya, namun hati ku
berkata kalau Kemas benar-benar hadir di hadapan ku. Benar-benar mendengarkan
semua ceritaku. Dan tetesan air mata mengalir membasahi pipi ku.
Tak terasa matahari
mulai menuju ke peraduannya. Semilir angin mulai menusuk-nusuk pori-pori jaket
ku. Ponsel ku berdering, tanda pesan singkat masuk.
“Pulang nak, udah
sore, nati kehabisan bus loh”.
“Iya Bu”.
Sebelum aku pulang,
aku meninggalkan secarik kertas berisi puisi tanda perpisahan dengan Kemas.
Sekarang janji ku dengan sahabat ku sudah terpenuhi. Bertemu setelah kami lulus
SMA. Namun bukan di tempat yang seharusnya.
Ranting pohon pasti
akan menyusul daunnya yang jatuh terlebih dahulu ke tanah. Selamat tinggal
Kemas....
Akasia
Berdiri
kokoh
Akarnya
menerkam tanah dengan kuatnya
Daunnya
bagai bulan sabit yang malu-malu jika tersipu angin
Kamboja
Menemani
dikala sepi
Batangnya
berliuk-liuk
Bunganya
yang berjatuhan menghiasi singgasana
Akasia
dan kamboja
Dua
pohon yang berbeda namun punya peran yang sama
Peran
yang memersatukan kita
0 comments:
Post a Comment